DAMPAK penerapan UU 32/2009 tentang PPLH ternyata cukup panjang. Tidak saja target produksi (lifting) minyak mentah yang terganggu, tapi juga penerimaan negara dari sektor minyak dan gas (migas).
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan setiap penurunan 10 ribu barel produksi minyak mentah, pendapatan negara turun sekitar Rp1 triliun hingga Rp2 triliun.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan setiap penurunan 10 ribu barel produksi minyak mentah, pendapatan negara turun sekitar Rp1 triliun hingga Rp2 triliun.
Dengan pemberlakuan UU 32/2009 itu terdapat potensi penurunan produksi sekitar 386 ribu barel atau 40% dari target 965 ribu barel. Artinya, akan ada juga penurunan pen-dapatan negara sekitar Rp38,6 triliun hingga Rp77 triliun.
Jumlah Rp77 triliun ini melebihi sepertiga dari sumbangan sektor migas tahun lalu yang sekitar US%19,7 miliar (setara Rp197 triliun.
“Itu (penurunan produksi) memang akan signifikan. Karena setiap 10 ribu barel di bawah asumsi itu dana yang di te rima pemerintah akan turun sekitar Rp1 triliun - Rp2 triliun,” ujar Sri Mulyani di Jakarta, Kamis (25/2).
Namun, Menko Perekonomian Hatta Rajasa meminta tidak perlu timbul kekhawatiran berlebih. Hingga sekarang, kata dia, pemerintah belum mempunyai rencana untuk mengubah target lifting minyak meskipun ada risiko pengurangan pendapatan tersebut.
“Kita perlu harmonisasikan, tapi tentu tidak tiba-tiba turun 40%. Jangan panik. Memang nanti itu kita perlu harmonisasi sedikit,” tegasnya.
Jumlah Rp77 triliun ini melebihi sepertiga dari sumbangan sektor migas tahun lalu yang sekitar US%19,7 miliar (setara Rp197 triliun.
“Itu (penurunan produksi) memang akan signifikan. Karena setiap 10 ribu barel di bawah asumsi itu dana yang di te rima pemerintah akan turun sekitar Rp1 triliun - Rp2 triliun,” ujar Sri Mulyani di Jakarta, Kamis (25/2).
Namun, Menko Perekonomian Hatta Rajasa meminta tidak perlu timbul kekhawatiran berlebih. Hingga sekarang, kata dia, pemerintah belum mempunyai rencana untuk mengubah target lifting minyak meskipun ada risiko pengurangan pendapatan tersebut.
“Kita perlu harmonisasikan, tapi tentu tidak tiba-tiba turun 40%. Jangan panik. Memang nanti itu kita perlu harmonisasi sedikit,” tegasnya.
Kalangan produsen migas saat ini sudah mulai menurunkan produksi guna menyikapi keluarnya peraturan Menteri Lingkungan Hidup yang akan mengatur baku mutu air dan baku mutu gas buang yang dibakar. Untuk baku mutu air akan diturunkan dari 45 derajat celsius menjadi 40 derajat celsius. Sementara untuk batu mutu gas buang tidak boleh 14 juta standar kaki kubik per hari (millions metric standard cubic feet per day/mmscfd).
Untuk mengikuti aturan yang rencananya berlaku April mendatang, para kontraktor migas harus membangun fasilitas baru. Umumnya pembangunan fasilitas itu selesai paling cepat akhir tahun ini. Tapi ada juga kontraktor yang baru bisa selesai membangun fasilitas pengolahan sesuai UU 32/2009 itu pada 2012.
Pertamina EP telah menu-runkan target produksi dari 48,5 ribu barel per hari (bph) menjadi 41 ribu bph. Adapun Chevron sebagai produsen migas terbesar Indonesia mengalami penurunan 196 ribu bph.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Darwin Zahedy Saleh meminta para kontraktor migas menaati UU 32/2009 tentang PPLH itu. Termasuk juga menyiapkan anggaran tambahan guna me-menuhi ketentuan yang ada.
Kementerian ESDM sebagai regulator dari industri migas telah mengajukan penundaan waktu pelaksanaan ketentuan itu hingga dua tahun ke depan.
Dalam jangka waktu tersebut, menurut Dirjen Migas Evita H Legowo, para kontraktor migas harus mampu menyelesaikan pembangun fasilitas untuk pengolahan limbah air dan gas buang itu. (RR/Ant/E-3)
jajang@mediaindonesia.com
0 komentar:
Posting Komentar